Jakarta Tabenews.com – reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal, Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis, ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya tanah. Ketimpangan agraria itu, yang menyebabkan semakin banyak petani tak bertanah dan petani gurem, menjadi salah satu penyebab kemiskinan di desa.
Untuk itu, guna mengatasi Ketimpangan kepemilikian atas tanah dan kesejahtraan masyarakat di pedesaan, mereformasi struktur kepemilikan lahan ialah sebuah keharusan.
Hal tersebut dikemukakan Agung Trianto, Koordinator Kolektif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (KN-LMND) melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu, 25/01.
“Sebagai kader LMND dan berasal dari provinsi Sulawesi tengah, saya miris sekali kalau sudah bicara ketimpangan atas tanah di provinsi Sulawesi tengah. Kita masyarakat Sulawesi tengah hanya jadi penonton dan babu di perusahaan perkebunan maupun pertambangan, padahal ini ialah kekayaan sumber daya alam, yang di wariskan leluhur kami” terang Agung.
Agung menuturkan, terdapat banyak perusahaan besar yang memonopoli tanah di Sulawesi tengah, apabila kita ambil contoh protet ketimpangan itu, kita bisa lihat contoh satu komoditas misalnya, yaitu kelapa sawit.
Dari deretan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada menurut Agung, satu perusahaan bisa menguasai 10.000 hingga 20.000 hektare lahan.
“Dengan alih fungsi lahan besar-besaran ke sektor perkebunan kelapa sawit, seharusnya ini berkelindan dengan kesejahteraan rakyat Buol dan tetap dapat memperhatikan lingkungan melalui skema yang sudah ditetapkan Undang-undang,” tutur Agung.
Tetapi yang terjadi dalam pandangan Agung malah sebaliknya. Ketimpangan kian menajam seiring menyusulnya perluasan-perluasan lahan yang dilakukan perusahaan untuk mengakumulasi kapitalnya. Bedirinya perusahaan dan pertambangan di Sulawesi tengah tidak memiliki dampak terhadap kemajuan serta kesejahtraan rakyat di Sulawesi tengah, dan khususnya di kabupaten buol.
Sembari melansir data BPS ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 silam mencapai 0,68 persen. ”Artinya, 1 persen orang menguasai 68 persen sumber daya tanah. Ketimpangan agraria inilah yang menjadi akar kemiskinan disana karna petani tidak memiliki alat produksinya sendiri” tambah Agung.
Agung mengemukakan satu contoh bagaimana perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat dengan mudahnya memperoleh HGU untuk mengakses lahan.
Proses ini menurut Agung dilakukan dengan cara-cara kotor dan koruptif karena perusahaan melakukan penyogokan kepada pemerintah setempat.
“Dulu ada kasus kontroversial namanya PT HIP. Untuk memperluas lahan perkebunan PT ini menyogok Bupati masa itu. Dan ironisnya walaupun sudah terbukti di pengadilan melakukan gratifikasi, HGU perusahaan yang di ajukannya tetap di berikan” kata Agung menceritakan.
Merujuk data yang sama ditemukakan Agung, ada 713.217 hektare lahan yang di kuasai 54 perusahaan untuk perkebunan sawit di Sulawesi tengah, berbanding 73.000 haktare saja lahan perkebunan rakyat, itu lah yang di perebutkan seluruh masyrakat di Sulawesi tengah .
Data terakhir ini menurut Agung harus diperebutkan oleh jutaan masyarakat sulawsi tengah sungguh situasi yang ironis. “Kalau sudah begini, rakyat hanya akan kebagian ampas dan menjadi budak korporasi yang tidak pernah di pikirkan kesejahtraannya, sudah SDAnya di kuras manusianya di jadikan babu demi keuntungan individu dan golongan” katanya lagi.
Selain menimbulkan ketimpangan, hadirnya perusahaan-perusahaan ini juga dalam pandangannya berpotensi untuk terjadinya konflik agraria di Sulawesi tengah.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) kata Agung pernah merilis bagaimana menajamnya konflik antar masyarakat setempat dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
Bagi Agung, dalam keadaan yang demikian ini seyogyanya negara dalam hal ini pemerintah hadir untuk menghentikan ekspansi lahan oleh perusahaan dan menghapus ketimpangan kepemilikan lahan yang ada. Sebagai satu Tindakan untuk mempercepat pembangunan SDM menyongsong indonesuia emas 2045 yang di gadang-gadang oleh pemerintah Jokowi-ma’ruf amin
Negara, katanya, telah memiliki instrumen hukum yang kuat jika ingin mewujudkan reforma agraria. Instrumen hukum dimaksud Agung ada di pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya, yakni Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.
“Harus kembali ke pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No. 5 Tahun 1960 untuk meredistribusi lahan kepada rakyat. Harus Kembali pada cita-cita dan semangat kemerdekaan, yakni terciptanya keadilan, kesejahtraan dan kemakmuran ” tutup Agung.*
Redaksi