Tolitoli — Suasana Balai Desa Bajugan, Kecamatan Galang, Sabtu siang, terasa berbeda dari biasanya. Puluhan warga bersama jajaran pemerintahan desa dan tokoh masyarakat memenuhi ruangan untuk menyimak pemaparan visi dan misi bakal calon kepala desa Pergantian Antar Waktu (PAW). Dari tiga calon yang tampil, perhatian banyak tertuju pada Rosmawati, S.M., perempuan dengan nomor urut tiga yang membawa semangat baru ke panggung politik desa.
Acara resmi itu dihadiri oleh Camat Galang, pejabat kepala desa sementara (Pjs), ketua dan anggota BPD, bhabinkamtibmas, babinsa, perangkat desa, panitia pemilihan, serta pengawas. Tak ketinggalan tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan sejumlah lembaga lokal yang selama ini menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial Desa Bajugan. Kehadiran mereka menandai bahwa kontestasi ini bukan sekadar ritual politik, tetapi momentum menentukan arah pembangunan desa ke depan.
Rosmawati dalam pidatonya menekankan pentingnya partisipasi warga dalam setiap tahap pembangunan. Ia menyuarakan gagasan tentang desa yang transparan, inklusif, dan mampu menjawab kebutuhan kelompok rentan, mulai dari perempuan hingga generasi muda. “Saya percaya, desa yang maju adalah desa yang memberi ruang bagi semua suara,” ucapnya dengan lantang di hadapan audiens yang sebagian besar tampak mencatat serius.
Momen itu tidak hanya menjadi ajang penyampaian program, melainkan juga pertarungan gagasan. Setiap calon dituntut menjelaskan bagaimana mereka akan mengelola dana desa, meningkatkan pelayanan publik, hingga mendorong kemandirian ekonomi masyarakat. Dalam konteks Bajugan—desa dengan dinamika sosial dan sumber daya terbatas—tantangan itu terasa nyata dan memerlukan kepemimpinan yang kuat.
Para tokoh masyarakat yang hadir memandang acara ini sebagai wujud demokrasi yang sehat. Kehadiran aparat keamanan dari bhabinkamtibmas dan babinsa memberikan jaminan bahwa proses berlangsung tertib, sementara keterlibatan tokoh agama dan perempuan menambah legitimasi moral dan sosial. “Kepala desa bukan hanya administrator, tapi juga pemimpin moral bagi masyarakat,” ujar salah satu tokoh agama usai acara.
Di luar ruang utama, perbincangan warga mengalir tentang peluang Rosmawati. Sebagai satu-satunya calon perempuan, ia dianggap mampu membawa perspektif berbeda dalam kepemimpinan desa. Namun, sebagian lain mengingatkan bahwa politik desa sering kali lebih ditentukan oleh kedekatan personal dan jaringan sosial dibanding sekadar program tertulis.
Pemaparan visi dan misi itu hanyalah awal dari proses panjang menuju pemilihan kepala desa PAW Bajugan. Namun bagi banyak warga, momentum ini sudah menghadirkan sebuah cermin tentang bagaimana demokrasi lokal bekerja—dengan segala dinamika, harapan, dan tensi yang menyertainya. Pada akhirnya, pilihan warga Bajugan akan menentukan apakah desa ini bergerak menuju wajah baru kepemimpinan atau tetap bertahan dengan pola lama.
fajrin/tabe