Oleh : Arianto Sangadji, Ph.D.
KITA Mesti mendukung sikap tiga Gubernur di Sulawesi (Selatan, Tenggara, dan Tengah) menolak perpanjangan kontrak karya (KK) PT Vale Indonesia (dulu PT Inco Indonesia). Seperti yang mereka sampaikan dalam rapat Panja Vale Komisi VII DPR-RI minggu lalu.
Adapun pernyataan Menteri ESDM yang menganggap sikap tiga gubernur mengancam investasi menunjukkan watak neoliberal di kalangan pembuat kebijakan kunci dalam tubuh pemerintah. Karena pernyataan semacam itu berpijak pada sikap memihak kepada kepentingan perusahaan transnasional yang sudah mengeruk kekayaan nikel selama lebih 5 dekade. Menteri ESDM mesti memajukan national interests dengan setinggi-tingginya membuat kebijakan tentang ekosistem bisnis nikel yang menguntungkan Negara. Khususnya kepentingan daerah-daerah penghasil nikel.
Fakta juga menunjukkan bahwa pertumbuhan industri nikel yang masif terutama di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara sejak 2014 sama sekali tidak terkait dengan PT Vale Indonesia. Justru industri nikel yang tumbuh di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara berkat investasi modal asal Tiongkok. Baik modal swasta maupun modal Negara.
Dan dalam waktu singkat dengan mempekerjakan sekitar 150.000 buruh, modal Tiongkok sukses melakukan industrialisasi berbasis nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Morowali di Sulawesi Tengah bahkan tumbuh menjadi pusat industri berbasis nikel terintegrasi yang terbesar di dunia.
Sementara Vale yang memperoleh perlindungan habis-habisan dari pemerintah Indonesia sejak Orde Baru melalui rezim KK sama sekali tidak melakukan kegiatan apapun di kedua provinsi.
Oleh karena itu, pernyataan 3 Gubernur tersebut benar secara politik dan ekonomi bagi kepentingan 3 daerah penghasil utama nikel di Indonesia.
Pertama; karena PT Vale memonopoli ratusan ribu hektar tanah yang menyimpan deposit nikel di ketiga wilayah provinsi selama lebih 50 tahun. Berdasarkan KK yang diperpanjang pada tahun 1996, perusahaan memiliki areal KK 218.528 hektar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Saat ini, setelah diciutkan luas areal KK, dengan menguasai areal 70.566 hektar di Sulawesi Selatan, 24.752 hektar di Sulawesi Tenggara, dan 22.699 hektar di Sulawesi Tengah, PT Vale masih merupakan perusahaan pemilik areal pertambangan nikel terluas di Indonesia. Dengan memonopoli deposit nikel seluas itu di bawah rezim KK, perusahaan menjadi penentu pasar nikel Indonesia. Bahkan global, karena Indonesia mengontrol 22,10 persen dari total cadangan nikel dunia.
Memonopoli areal KK juga membuat Vale mencegah fihak lain, terutama BUMD, untuk mengonversi deposit nikel menjadi komoditas yang menguntungkan daerah.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh ketiga Gubernur merupakan langkah yang harus didukung. Karena merupakan sikap politik yang tepat untuk mengakhiri monopoli penguasaan deposit nikel di tangan segelintir perusahaan transnasional. Mengingat hampir 60 persen saham PT Vale dikuasai oleh perusahaan transnasional (Vale Canada dan Sumitomo Metal).
Kedua; PT Vale yang memproduksi nickel matte untuk tujuan ekspor meraup laba besar. Pada 2021, PT Vale memperoleh laba bersih US$165,7 juta dolar atau sekitar IDR2,3 triliun. Tentu saja, karena hampir 60 persen saham dikuasai perusahaan transnasional asing, maka sebagaian besar profit yang diperoleh dari operasi PT Vale direpatriasi ke luar teritori Indonesia,
Di lain fihak, pemerintah daerah di ketiga provinsi memperoleh pendapatan dari operasi perusahaan yang kecil. Dari dana bagi hasil (DBH) minerba yang diperoleh Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Luwu Timur pada tahun 2021 hanya sekitar IDR107,5 milyar. Angka sebanyak itu hanya berkisar 4,63 persen dari laba PT Vale.
Sementara Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah setiap tahun hanya memperoleh sewa tanah yang tidak seberapa. Karena Vale sama sekali belum melakukan aktivitas produksi di kedua provinsi tersebut selama lima dekade. Padahal, dengan melakukan penambangan dan pengembangan industri pengolahan nikel di kedua provinsi, Vale akan berkontribusi secara ekonomi bagi kedua provinsi tersebut.
Sikap para gubernur yang mendorong BUMD untuk terlibat dalam pengolahan areal KK PT Vale merupakan jawaban yang tepat. Terutama dari sisi peningkatan fiskal daerah. Pengalaman DBH minerba di Provinsi Sulawesi Selatan yang rendah menunjukkan bahwa pemerintah daerah di ketiga wilayah provinsi tidak boleh lagi bersandar pada sumber penerimaan tradisional dari pajak dan royalty yang sangat kecil.
Sebagai jalan keluarnya, pemerintah daerah setempat mesti menjadikan BUMD (provinsi dan kabupaten) sebagai motor peningkatan fiskal daerah. BUMD harus terlibat dalam bisnis produktif nikel. Dikelola dengan azas-azas transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas, BUMD mesti dirancang untuk menjadi pembuat profit. Hanya dengan demikian BUMD dapat menyumbang terhadap penerimaan daerah. Baik melalui dividen maupun melalui pajak dan royalti. (penulis peneliti ekonomi-politik pertambangan)